Hasil Laporan Kunjungan Ke Museum Tionghoa
Laporan Hasil Kunjungan Ke Museum Hakka Indonesia
- Cornelius Ferdinand Suryo
- Dewandha Finartra
- Latifah Hanum
- Rheynada asta saputri
- Sanchika Dwi Anela
- Yolanda Kusuma.W
Kelas
: 1EA09
Tugas Mata
Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Universitas
Gunadarma
2015
Tionghoa-Indonesia
Tionghoa-Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia yang asal usul
mereka dari Tiongkok. Biasanya
mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongnyin
(Hakka). Dalam bahasa
Mandarin mereka disebut
Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut Huaren
(Hanzi Tradisional: 華人 ; Hanzi Sederhana : 华人) . Disebut Tangren dikarenakan sesuai dengan
kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok
selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok
utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara
bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran
mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan
kuno di Nusantara telah
berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah
yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia
dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Asal kata
Kata Tionghwa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat
sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua
dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak
tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas
dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih
demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang
bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Tiongkok yang anak-anaknya lahir di
Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka
mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang
dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya
diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam
perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok,
tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda,
seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di
Hindia Belanda.
Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa
Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari
penduduk Indonesia pada tahun 1930.[5] Tidak ada data
resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah
sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam
risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia
mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai
mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia
mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku
Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh
jumlah populasi Indonesia.
Daerah asal di Tiongkok
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara
Tiongkok, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar
berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena
pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para
pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka.
Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi
wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus
berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari
tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini
dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi
bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah
tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman
tersebut.
Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia
menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah
lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan
adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.



Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu
dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka
kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian
lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa,
Sunda dan Melayu.
Sejarah
Masa-masa awal
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan,
seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien
melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin
datang ke India untuk
mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru
pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para
imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan.
Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga
asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860
dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan
jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif
relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[8]
Catatan Ma Huan, ketika turut
serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut
secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibukota dan kota-kota
bandar Majapahit (abad ke-15)
dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[9] Ekspedisi
Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas
sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi
selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa
Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah
Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[10] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo
Awang".[11]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain
keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki
darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif
mempraktekkan kultur Tionghoa.[12]
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan
kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah
kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum
mencapai tujuan di Kalapa.
Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten
Era kolonial
Sepasang mempelai Tionghoa di Salatiga, circa 1918
Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa
pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan
menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di
antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[butuh rujukan]. Di Batavia,
Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di
Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[13]
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah
berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis
Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[butuh
rujukan] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang
tergabung dalam "Republik" Lanfong[butuh rujukan] berperang
dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali
etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan
pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [14][15][4] melahirkan
gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa
Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan
pecahnya kerajaan Mataram. Orang
Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah
kota besar di Hindia Belanda.
Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Pendidikan
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari
perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di
Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah,
seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang
pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya
bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa
pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan
mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain,
seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan
priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga
dibentuklah Budi Utomo.
Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi
pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel
itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di
perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang
Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu,
peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan
transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh
RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk
tahun 1906 di Batavia.
Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh
asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban
tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi
juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Tiongkok, Januari 1912. Organisasi
Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai
mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif
terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan,
hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat
tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa
tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak
ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan
kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta,
kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa
dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak
dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran
Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan
informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori
penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai
pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini
kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal
kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan
Partai Tjina Indonesia).
Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang
menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan
Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah
Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada
tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4
orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang
Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut
merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan
Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang
yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang
yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pasca kemerdekaan
Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah
diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa
dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan
politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang
melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi
dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang
dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun
1965 dan lainnya.
Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya
ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta
keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara
esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa
pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang
berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan
Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep
obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun
kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang
diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam
bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal
ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa
kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia
terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak
korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan,
kekerasan, dan lainnya.
Reformasi
Reformasi yang
digulirkan pada 1998 telah banyak
menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum
100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren
perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa.
Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang
dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal
tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada
Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik
minat warga Tionghoa.
Kerusuhan Rasial terhadap Warga
Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan-kerusuhan
yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948,
peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari
1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan,
Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi
yaitu :
Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan
Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut
Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah
menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Tionghoa di
Indonesia ditutup pada bulan Desember. Jakarta, tahun 1967. Koran- koran
berbahasa Tionghoa ditutup oleh pemerintah.
April, gereja- gereja diserang di
Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti-Tionghoa di Jakarta.
Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara
orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung
terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko
Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang
bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah
gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil
orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
Peran Warga Tionghoa Bagi Republik
Indonesia
Peran Ekonomi
Peran Sosial Budaya dan Pendidikan
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku,
suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan
oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang
tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam
membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam
koran Sin Po, dimana koran
Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah
disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh
masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang
menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda.
Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya
sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan
pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau
untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu
di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah
pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi
tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen
Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan
pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI)
didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi
majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda
sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung
Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27
- 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu
universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga
Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para
petinggi Baperki yang
kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama
universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak
Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga
sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya
pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada
di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah
setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot
puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang
dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan
taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang
lebih 50 miliar rupiah
Berikut
ini adalah laporan hasil kunjungan kelompok kami ke Museum Hakka Indonesia yang
berada di TMII

“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Kutipan terkenal tersebut menggambarkan tentang peran penting Negera Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia. Di Indonesia, masyarakat keturunan dari dataran Tiongkok tersebut lebih akrab disebut sebagai ‘kaum peranakan’ atau orang Tionghoa. Di era tahun 70an hingga 90-an, tercatat beberapa nama masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menorehkan prestasi emas di bidang bulutangkis (badminton) seperti Rudy Hartono juara All England termuda sekaligus terbanyak, serta peraih emas perdana Indonesia di Olimpiade yaitu pasangan Susi Susanti bersama Alan Budikusuma, dan lainnya. Lalu di bidang birokrasi dan pemerintahan, tercatat nama Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur dan Megawati serta Basuki ‘Ahok’ T. Purnama, Gubernur DKI saat ini.

“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Kutipan terkenal tersebut menggambarkan tentang peran penting Negera Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia. Di Indonesia, masyarakat keturunan dari dataran Tiongkok tersebut lebih akrab disebut sebagai ‘kaum peranakan’ atau orang Tionghoa. Di era tahun 70an hingga 90-an, tercatat beberapa nama masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menorehkan prestasi emas di bidang bulutangkis (badminton) seperti Rudy Hartono juara All England termuda sekaligus terbanyak, serta peraih emas perdana Indonesia di Olimpiade yaitu pasangan Susi Susanti bersama Alan Budikusuma, dan lainnya. Lalu di bidang birokrasi dan pemerintahan, tercatat nama Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur dan Megawati serta Basuki ‘Ahok’ T. Purnama, Gubernur DKI saat ini.
Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) yang diprakarsai pada tahun 1975 oleh First Lady Indonesia kedua,
Ibu Tien Soeharto, juga turut menjembatani asimilasi atau pembauran budaya
antara kaum Tionghoa dan masyarakat Indonesia. Presiden RI kedua, Soeharto,
yang juga Ketua Yayasan Harapan Kita, meresmikan pembangunan Taman Budaya
Tionghoa Indonesia (TBTI) pada tahun 2006 di TMII. Tahun 2012, Museum Hakka
Indonesia (MHI) sebagai bagian TBTI dibuka bagi para pengunjung TMII. Selain
MHI, di TBTI juga terdapat Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan yang terletak
tepat di samping MHI. Setelah mengunjungi keduanya, saya menyadari bahwa taman
dan kedua museum tersebut memang sarana yang sangat tepat sebagai media perekat
budaya antara kaum pribumi dan Tionghoa di Indonesia.
Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI)
Taman ini sungguh
tepat bagi Anda yang ingin menikmati sejuknya alam sekaligus mempelajari
sejarah kaum Tionghoa di Indonesia. Bagi yang membawa buah hatinya, bisa
menyewa perahu bebek dan naga yang disewakan di atas danau. TBTI juga
menyediakan tempat duduk yang nyaman serta pendopo untuk berkumpul.Patung
pahlawan nasional Laksamana Muda TNI John Lie di Taman Budaya
Tionghoa-Indonesia TMII.
Bukti nyata
nasionalisme masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dilihat dengan hadirnya
patung pahlawan nasional John Lie atau Jahja Daniel Dharma (1911 – 1988).
Patung Laksamana Muda TNI yang berbintang dua tersebut berada dalam posisi
berdiri dengan tangan kirinya bertumpu pada pedang panjang sementara tangan
kanannya memegang Injil (Alkitab). Selain berjiwa nasionalisme, masyarakat
Tionghoa ternyata juga tetap mengenang tokoh leluhurnya yang bermoral mulia
sehingga dapat dijadikan teladan bagi generasi penerusnya. Contohnya adalah patung
Kwan Yu atau Guan Yu (140 -219 M). Jenderal ksatria yang setia, jujur, serta
bijaksana dari marga Kwan tersebut memilih dihukum mati dan tetap setia pada
negara yang dibelanya daripada harus menyerah sekalipun telah diiming-imingi
harta oleh pihak lawan. Bahkan Kwan Yu kerap dipuja sebagai Dewa Kesetiaan
(Kwan Sen Ti).
Jika ingin
mengunjungi Museum Hakka dan Cheng Ho di TBTI, sebaiknya Anda melintasi
Jembatan Kasih Sayang. Jembatan tersebut terletak tak jauh dari patung legenda
cinta sejati yang abadi dan termasyhur dari Tiongkok, Sam Pek Eng Tay. Selain
melalui Jembatan Kasih Sayang, pengunjung juga bisa menuju museum di TBTI
melalui jalan lurus di dekat danau.
Museum Cheng Ho (Museum Peranakan)
Setelah puas berteduh
di Taman Budaya, selanjutnya Anda bisa melanjutkan napak tilas tentang sejarah
asimilasi atau pembauran marga Tionghoa di Indonesia dengan mengunjungi Museum
Cheng Ho atau Museum Peranakan. Museum tersebut diberi nama dari pelaut muslim
legendaris dari Tiongkok yang menjelajahi dunia, termasuk ke Indonesia.
Daerah-daerah di Indonesia yang dilewati oleh Cheng Ho bersama armadanya antara
lain Jakarta, Palembang, Deli, Aceh, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon.
Gedung museum merupakan sumbangan dari salah satu warga Tionghoa di Sentiur,
Kalimantan Timur, Bapak H. M. Yos Sutomo. Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan
di TMII Di dalam Museum Cheng Ho, terdapat foto-foto dan sejarah singkat para
tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari marga Tionghoa. Mereka
antara lain Oei Tiang Tjoei atau Permana (1893 – 1977) dan Yap Tjwan Bing (1910
– 1988) yang sama-sama berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia di tahun
1945 sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia). Foto tokoh Tionghoa Indonesia yang berasal dari kalangan militer
dan kini di masa pensiunnya aktif mengurus Taman Budaya, Him Tek Ji atau
Brigjen TNI Purnawiran Tedy Jusuf juga terdapat di sana. Tokoh nasional dari
etnis Tionghoa yang turut berjuang dalam kemerdekaan.
Dari kalangan akademisi,
ada Profesor Tjan Tjoe Siem (1909 -1978) dari keluarga Tionghoa Muslim sebagai
profesor Jawa Modern dan Dekan FSUI – sekarang FIB UI – dari tahun 1964 hingga
1968. Untuk penulis bermarga Tionghoa, ada Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati
(1926 – 1994). Uniknya, meskipun banyak menulis cerita silat berlatar belakang
Tiongkok, penulis yang tersohor dengan ceritanya tentang Pendekar Gunung Lawu
tersebut tidak tidak menguasai kemampuan baca-tulis dalam bahasa Mandarin.
Indonesia Kepadamu Kami Berbakti.
Selain sejarah,
Museum Cheng Ho juga menyimpan foto dan koleksi sejarah budaya antara lain
sepasang barongsai, Martavan atau guci besar dari keramik, batik peranakan,
upacara pernikahan (Chio Tau), dan buku bacaan tentang yang berkaitan dengan
marga Tionghoa di Indonesia.Koleksi motif batik peranakan di Museum Cheng Ho
TMII.
Bagian dalam Museum
Cheng Ho di Taman Budaya Tionghoa TMII (Dokpri) Hal menarik dari bangunan
Museum Cheng Ho ini adalah bangunannya yang tetap sejuk dan terang meskipun
lampu dan pendingin ruangan atau AC tidak dinyalakan. Setelah diperhatikan,
langit-langit dan bangunan atap yang tinggi ternyata menjadi faktor penyebab
bangunan tersebut sangat ramah lingkungan.
Museum Hakka Indonesia (MHI)
Museum Hakka Indonesia (MHI)
Bagi kalian semua yang ingin mengetahui sejarah Tionghoa, kalian dapat
mengunjungi Museum Hakka Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta
Timur. Di sini, kalian dapat menemukan cerita kedatangan orang Tionghoa ke
Nusantara, profesi orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda, tokoh-tokoh Tionghoa
yang berjasa kepada Indonesia hingga kesenian Tionghoa.
Terletak di depan Museum Listrik dan
Energi Baru, Kalian akan disambut dengan bangunan bundar mirip benteng berwarna
kuning pucat di seberang danau kecil. Pintu masuk coklat dari kayu jati siap
mengantarkan Kalian ke dalam lembaran sejarah Tionghoa Indonesia. Ketika masuk,
bersiaplah terkejut dengan lampu-lampu lampion yang menggantung di seluruh
bagian atap museum. Musik instrumental khas Tiongkok mengalun pelan, suasana
daratan Tiongkok pun terasa kental.
"Nama Museum Hakka Indonesia
diambil dari nama subsuku Han yang bermigrasi dari Tiongkok bagian utara menuju
Tiongkok bagian selatan. Hakka sendiri dalam bahasa Indonesia berarti tamu atau
pendatang. Dari sejarahnya, bangsa Tionghoa sudah menjadi tamu dan hidup di
banyak negara seperti Arab, India bahkan Nusantara," kata Surikin,
Pengelola Museum Hakka Indonesia saat menemani Kompas.com , Jumat
(6/2/2015).
Museum ini diresmikan oleh Presiden
Republik Indonesia periode 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30
Agustus 2014. Berdiri di atas tanah seluas 5.000 meter, bangunan ini mengambil
konsep rumah tradisional Tulou yang terkenal, yaitu Zhenceng Lou, yang terletak
di Yonding Fujian, Tiongkok Selatan. Surikin menuturkan bahwa bangunan yang
menjadi tempat pemukiman orang-orang Hakka dulu terkesan tertutup karena
pengaruh lingkungan yang tidak kondusif karena banyak peperangan.
Ia berharap museum ini dapat menjadi
jembatan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenal sejarah dan budaya Tionghoa
pada umumnya dan Hakka pada khususnya. Ia juga berharap masyarakat luas dapat
mengetahui keberadaan museum ini.
Museum Hakka Indonesia dibagi
menjadi tiga bagian yaitu Museum Tionghoa Indonesia, Museum Hakka Indonesia,
dan Museum Yodding Hakka Indonesia. Mempunyai tiga lantai, museum ini menyimpan
koleksi-koleksi yang berhubungan dengan Tionghoa pada umumnya dan suku Hakka
pada khususnya. Semua koleksi berasal dari sumbangan dari warga peranakan Hakka
Tionghoa yang tinggal di Indonesia dan juga didatangkan langsung dari Tiongkok.
Pada lantai dasar terdapat panggung, perpustakaan, ruangan pertemuan, dua
pasang instalasi laki-laki dan perempuan berbahan kayu yang terletak di dua
sudut dekat panggung yang dapat digunakan pengunjung untuk berfoto, dan ruang lobi
tengah.
Sejarah Tionghoa terungkap melalui
koleksi museum di sini. Ketika memasuki ruang pamer di lantai satu, gambar peta
jalur perjalanan orang Tionghoa ke Nusantara, mangkok-mangkok, foto-foto
pekerja, rempah-rempah hasil Indonesia yang dibawa pedagang Tionghoa dan
koleksi lukisan terpajang berjejer di dinding. Di ruangan yang berbentuk
setengah lingkaran ini serasa menghisap Anda masuk ke lorong waktu menuju
Tionghoa.
Koleksi di lantai dua museum ini
sangat bervariasi. Mulai dari mangkok-mangkok keramik, koper-koper, tempat
penyimpanan barang beserta gembok asli, arsip-arsip tua yang dituliskan
karakter Han, alat-alat pertanian, tandu orang Hakka, daftar orang-orang Hakka
Indonesia yang berpartisipasi dalam pembangunan, gambang kromong, wayang Potehi,
kebaya peranakan Tionghoa, dan berbagai koleksi artefak dan pusaka yang
berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa.
Pada lantai tiga, bentuk ruang
koleksi masih sama dengan ruang sebelumnya. Pengunjung masuk dan keluar dari
pintu yang berbeda. Di ruangan ini merupakan tempat koleksi Museum Yodding
Hakka Indonesia. Di dalam ruangan ini menceritakan sejarah Yodding Hakka di
Indonesia, tentang pembangunan Tolou, tokoh-tokoh Yodding, beserta kegiatan
sosial yang dilakukan. Selain itu, pengunjung dapat melihat jenis peralatan
toko obat Tionghoa beserta contoh-contoh obat jamu.
Untuk mengunjungi museum ini, Kalian
dapat datang pada hari Selasa hingga Minggu. Jam buka museum ini mulai dari
pukul
09.00 - 16.00 WIB. Ketika berada di museum ini, pengunjung akan ditemani dengan
pemandu yang akan memberikan informasi seputar koleksi yang ada,dan Kalianpun
tidak perlu takut kepanasan karna dimuseum ini sangat sejuk dan dingin lalu
kalian pun difasilitasi oleh lift jika kalian capek untuk menaiki
tangga,dimuseum inipun terdapat kamar mandi disetiap lantainya dan kamar
mandinya pun bersih,wangi tidak kotor sama sekali dan kitapun merasa nyaman
apabila kita berada didalam museum Tionghoa ini.Di museum Tionghoa pengunjung
yang datang tidak dikenakan biaya masuk alias gratis hanya saja dikenai
biaya pada saat masuk ke TMII nya sebesar 10.000/orang nya. Jika kalian ingin
mengatahui sejarah tentang Tionghoa lebih jauh Museum Hakka Indonesia ini
adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi.

Komentar
Posting Komentar